JAKARTA,TRIBUNUS.CO.ID - Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS), melansir hasil penelitian tentang penganggaran berbasis kinerja di Kejaksaan Republik Indonesia.
Sebagaimana lembaga lain yang bergerak di bidang hukum, kinerja Kejaksaan sangat bergantung pada ketersediaan anggaran. Namun dalam menjalankan fungsi ketertiban dan keamanan, anggaran Kejaksaan lebih minim dibanding anggaran Polri, Mahkamah Agung, dan Kementerian Hukum dan HAM.
Sejalan dengan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, ada banyak tugas yang harus dijalankan kejaksaan, mulai dari perlindungan kepentingan umum, sebagai jaksa pengacara negara, hingga melakukan penyidikan dan penuntutan. Pada intinya, Kejaksaan termasuk aparat penegak hukum yang secara struktural berada di bawah presiden. Ternyata, Kejaksaan juga punya fungsi menjaga keamanan dan ketertiban nasional.
Dilihat dari besaran anggaran tahun 2019, anggaran Kejaksaan menempati posisi ketiga terkecil setelah MK (0,5%) dan KPK (0,7%). Anggaran Kejaksaan sendiri hanya sebesar 5,5% dari total anggaran fungsi ketertiban dan keamanan nasional. Beban anggaran terbesar masih di tangan Kepolisian (74,6%).
Baca juga : https://www.tribunus.co.id/2019/09/wajar-saja-kasus-kkn-dd-di-kabupaten.html
Jika melihat postur satuan kerja kejaksaan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, hingga Cabang Kejaksaan Negeri, terdapat lebih dari 500 satuan kerja kejaksaan. “Ini tentunya berbanding terbalik dengan MK maupun KPK yang hanya memiliki satu satker di ibukota negara,” ujar Sekretaris Jenderal FITRA, Misbah Hasan dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (22/10/2019) Kemarin.
Sesuai hasil penelitian dan atau temuan Seknas FITRA dan IJRS, anggaran fungsi ketertiban dan keamanan yang diterima Kejaksaan lebih kecil dari Kepolisian, MA, dan Kemenkumham. Padahal, tugas dan fungsi kejaksaan cukup banyak termasuk penyidik pada tindak pidana tertentu, penuntut umum, pelaksana penetapan hakim, pelaksana putusan pengadilan, pidana pengawasan dan lepas bersyarat, pengacara negara, serta turut membina ketertiban dan ketentraman umum sesuai dengan Pasal 30 UU Kejaksaan.
Bisa dikatakan, beban jaksa dalam penegakan hukum cukup berat. Sayangnya, beratnya beban kerja yang diemban oleh institusi ini tidak sebanding dengan pagu anggaran yang diterima. Dalam penelitiannya bersama IJRS, sebenarnya FITRA menemukan profil capaian kinerja Kejaksaan yang tidak buruk. Kejaksaan memiliki kontribusi yang cukup maksimal dalam penanganan sejumlah perkara. Khusus perkara tindak pidana korupsi, jumlah uang pengganti yang diperoleh negara pun tidak kecil.
Berdasarkan laporan Kinerja Kejaksaan Tahun 2017, terlihat kontribusi langsung Kejaksaan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di seluruh Indonesia. Pada tahun 2016, dengan jumlah penuntutan sebesar Rp 331 miliar dan ASD263.929, uang pengganti yang berhasil disetor ke kas negara sebesar Rp 197,3 miliar. Kemudian, pada tahun 2017, kerugian negara yang berhasil diselamatkan pada bidang perdata dan tata usaha negara sebesar Rp 447,4 miliar, ASD 79.774, dan tanah seluas 83.330 meter persegi.
Misbah menyebutkan, peran Kejaksaan dalam mengamankan aset negara juga merupakan hal yang tidak kalah penting. Sebagai contoh, pada tahun 2019, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dalam Gerakan Bersama Penyelamatan Aset Negara telah berhasil mengembalikan aset Yayasan Kas Pembangunan (YKP) sebesar 5 triliun rupiah.
Capaian-capaian di atas tentu menjadi catatan positif dari kinerja Kejaksaan dari tahun ke tahun. Akan tetapi, tentunya perlu didorong anggaran yang proporsional, adaptif, dan sesuai kebutuhan Kejaksaan dalam menjalankan tugas, pokok, dan fungsinya. “Jika Kejaksaan sudah ditopang oleh anggaran yang optimal, bukan tidak mungkin kualitas penegakan hukum Indonesia akan lebih baik,” ujar Misbah.
Baca juga : https://www.tribunus.co.id/2019/08/bupati-pasang-badan-kasus-dd-diduga.html?m=1
Peneliti IJRS Rima Amelia mengungkapkan, dari penelitian ini menemukan sejumlah hal. Dari sisi serapan anggaran, dinilai yang belum optimal disebabkan perencanaan yang belum komprehensif sehingga alokasi anggaran tidak mampu terserap karena alokasi nya tidak berdasarkan kebutuhan aktual satuan kerja sebagai pelaksana anggaran (Pidum dan Pidsus).
Selain itu, ditemukan misalokasi dalam penganggaran yang mengakibatkan DIPA yang turun dari Kejaksaan Agung tidak bisa diserap. Anggaran yang diturunkan memang tidak dibutuhkan oleh Kejati atau Kejari. Contohnya, di salah satu Kejari dalam dua tahun berturut-turut dianggarkan anggaran untuk eksekusi pidana mati. “Sedangkan di Kejari tersebut sama sekali tidak ada terpidana yang harus dieksekusi mati,” ujar Rima.
Rima menyebutkan adanya infleksibilitas kelembagaan dalam perencanaan penganggaran. Misalnya ditemukan dari anggaran antara Pidana Umum dan Pidana Khusus berada dalam program anggaran yang berbeda, sehingga kemungkinan untuk melakukan revisi hanya bisa terjadi di level program saja. Revisi di level antar program memiliki mekanisme yang lebih sulit dan panjang. Kemudian yang lainnya adalah rendahnya kapasitas perencana dan pelaksana anggaran. “Penggunaan Dokumen Renstra dan Renja sebagai basis dalam perencanaan anggaran masih belum banyak dilakukan oleh Kejaksaan di tingkat daerah,” ungkap Rima.
Selanjutnya masih lemahnya sistem pengawasan internal. Dalam hal ini, Rima menyebutkan tentang pelaksanaan pengawasan yang kurang optimal berjalan disebabkan terbatasnya sumber daya yang dimiliki dalam melakukan pengawasan. Akan tetapi ada praktik baik yang terjadi di Maluku utara, dimana Asisten Pengawas terlibat aktif dalam monitoring proses perencanaan dan penganggaran.
Namun bukan berarti tidak ada praktik baik yang terjadi. Contoh hal positif misalnya proses penyusunan dokumen anggaran sudah menggunakan pendekatan PBK (Pendekatan Berbasis Kinerja). Hal ini ditemukan di semua lokasi penelitian. Namun praktik baik ini belum sepenuhnya maksimal karena di level Kejari dan Cabang Kejaksaan Negeri belum sepenuhnya memahami rencana strategi dan visi kejaksaan sehingga dalam proses penyusunannya masih dominan berdasarkan kebutuhan wilayah saja.
Rima mengungkapkan beberapa praktik baik lain dalam penyusunan program-kegiatan sudah dilakukan oleh beberapa kejari, seperti adanya forum konsultasi atau komunikasi baik dengan pemerintah daerah atau aparat penegak hukum lain. Hal ini tentu akan dapat meningkatkan sinergi antar pemangku kebijakan dengan memperhatikan profesionalitas.
Selain itu, adanya bagian perencanaan di Pembinaan tingkat provinsi atau kejati berdampak pada peningkatan kualitas perencanaan di bidang Pidum dan Pidsus. Hanya saja, Rima menilai, bagian perencanaan di level kejati belum sepenuhnya optimal karena baru berjalan kurang lebih 1-2 tahun (tahun 2017-2018).
Dari penelitian ini, FITRA dan IJRS memiliki kesimpulan bahwa penganggaran berbasis kinerja secara prinsip sudah dilakukan di tiap satuan kerja di Kejaksaan khususnya di wilayah studi. Namun kompetensi sumber daya manusia (SDM) dan sarana penunjang masih perlu diperhatikan. Masalah yang tergambar seperti belum diterapkannya standar operasional dan prosedur, belum maksimalnya pelatihan tentang perencanaan anggaran dan pelaporan keuangan, dan kurang tegasnya evaluator dalam menjalankan fungsi pengawasan.
Selain itu, perlu menyesuaikan dokumen perencanaan seperti Renstra dan Renja dalam proses penyusunan anggaran menjadi hal yang harus diperhatikan oleh Kejaksaan di level Kejati dan Kejari. Sedangkan, rendahnya penyerapan anggaran disebabkan kurang terpadunya mekanisme kerja pada unit-unit di kejaksaan dan intensitas proses mutasi yang tidak disertai dengan pertukaran pengetahuan sehingga Kejaksaan mengalami kesulitan jika ada pergantian staf.
Editor : rn
Sumber : hukumonline
Admin 081357848782 (0)