Ilustrasi, Ketika Doktrin Societas Delinquere Non Potest Tak Dapat Dipertahankan.
TRIBUNUS.CO.ID - Kasus Bakal Berujung Pidana Korporasi Bagi Anda yang mengendalikan atau mengurus perseroan, berhati-hatilah melakukan tindak pidana. Apalagi jika perbuatan itu dilakukan untuk dan atas nama perseroan. Sebab, sebagai ius constituendum, ada beberapa jenis sanksi tambahan yang dapat dikenakan kepada perusahaan.
Tanda-tanda kecenderungan aparat penegak hukum menggunakan konstruksi pidana korporasi sudah mulai terlihat.
Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menetapkan satu perseroan, yakni PT Merial Esa, sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Perusahaan ini diduga terkait dengan suap dalam pengurusan anggaran proyek di Badan Keamanan Laut. Duit sekitar 60 miliar rupiah di rekening perusahaan ini juga telah dibekukan KPK sebagai tindak lanjut.
“KPK membuka penyidikan baru dan menetapkan sebuah korporasi sebagai tersangka, yaitu PT ME,” jelas Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, awal Maret lalu.
Penetapan PT ME menambah daftar perseroan yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi. KPK memang punya ‘amunisi’ untuk menjerat korporasi setelah putusan atas PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE) berkekuatan hukum tetap.
Perseroan yang dulu bernama PT Duta Graha Indah itu menjalankan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta, berupa membayar denda Rp700 juta, dan membayar uang pengganti sebesar Rp85,49 miliar KPK berharap sanksi berat terhadap NKE menjadi lecutan bagi korporasi lain untuk tidak melakukan korupsi.
Sanksi yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta sebenarnya bukan hanya denda dan uang pengganti, tetapi juga sanksi tidak boleh mengikuti lelang pengadaan barang/jasa di instansi pemerintah selama enam bulan.
Dalam seminar Mahupiki yang digelar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia beberapa waktu lalu, terungkap bahwa aparat penegak hukum semakin tertarik menggunakan ‘jerat’ tindak pidana korporasi.
Para pembentuk undang-undang juga sudah mempersiapkan jerat yang lebih beragam terhadap korporasi yang terlibat melakukan tindak pidana. Berdasarkan informasi yang diperoleh, setidaknya ada 12 jenis pidana tambahan yang dapat dikenakan terhadap korporasi. Ingat, ini hanya hukuman tambahan, bukan hukuman pokok. Apa saja jenisnya?
Pertama, pembayaran ganti rugi. Jenis hukuman ini sebenarnya sudah lama dikenal dalam hukum Indonesia, terutama dalam konteks hukum perdata. Pasal 1365 Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) menyebutkan: “tiap-tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Dalam hukum pidana antara lain disebut dalam Pasal 75 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak pidana yang diatur dalam beberapa pasal Undang-Undang ini dapat menuntut ganti kerugian secara perdata kepada pelaku tindak pidana. Tuntutan ganti kerugian secara perdata dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana.
Istilah ganti kerugian juga dikenal dalam pidana. Tengok saja dalam KUHAP. Pasal 1 angka 22 UU No. 8 Tahun 1981 itu menyebutkan ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut aturan yang ditetapkan dalam KUHAP.
Kedua, pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan. Perusahaan yang terbukti merusak lingkungan biasanya dikenakan sanksi berupa perbaikan lingkungan yang dirusak. Atau, jika perusahaan tidak membayar pajak, maka hakim dapat menjatuhkan sanksi berupa pembayaran pajak yang dilalaikan.
Ketiga, pembiayaan latihan kerja. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
Pasal 12 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan atau kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja. Namun tidak ada kualifikasi tindak pidana dalam UU Ketenagakerjaan yang mengenakan sanksi pembiayaan latihan kerja.
Keempat, perbaikan akibat tindak pidana. Jenis tindak pidana ini tidak sepenuhnya baru karena sudah disinggung dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Disebutkan dalam Pasal 119 Undang-Undang ini bahwa badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; perbaikan akibat tindak pidana; kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.
Kelima, perampasan barang atau keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana. Aturan pidana semacam ini sudah diatur antara lain dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 164 Undang-Undang ini menyatakan selain pidana penjara dan denda, pelaku tindak pidana dapat dikenakan (i) perampasan barang yang digunakan dalam tindak pidana; (ii) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.
Keenam, pemenuhan kewajiban adat. Peradilan adat masih diakui antara lain dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, dan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, sepanjang mengenai desa adat. Pasal 51 UU Otonomi Khusus Provinsi Papua menyebutkan peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara warga masyarakat hukum adat bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat, dan tugas pengadilan ini adalah memeriksa dan mengadili berdasarkan hukum adat masyarakat bersangkutan.
Ketujuh, pencabutan izin tertentu. Dalam UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, pencabutan izin mendirikan bangunan dimasukkan sebagai sanksi administratif. Pencabutan izin usaha banyak disebut dalam perundang-undangan Indonesia.
Kedelapan, pelarangan permanen untuk melakukan perbuatan tertentu. Larangan melakukan perbuatan tertentu secara permanen dapat terjadi jika status badan hukum perseroan dicabut. Pasal 163 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyebutkan selain pidana denda, perseroan yang melakukan tindak pidana dapat dicabut izin usahanya dan/atau status badan hukumnya dicabut. Dalam Pasal 142 ayat (2) UU Perseroan Terbatas disebutkan dalam hal terjadi pembubaran perseroan, termasuk akibat penetapan pengadilan, maka ‘perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan semua urusan perseroan dalam rangka likuidasi’.
Kesembilan, pengumuman putusan pengadilan. Pengumuman putusan hakim atau putusan pengadilan disebut sebagai bentuk sanksi. Misalnya disebut dalam Pasal 10 huruf b KUHP yang menempatkan pengumuman putusan hakim sebagai salah satu jenis pidana tambahan. Pasal 43 KUHP menambahkan jika hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan aturan KUHP atau undang-undang lain maka hakim harus menetapkan cara melaksanakan perintah itu atas biaya terpidana.
Kesepuluh, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korporasi. Sanksi ini, misalnya, disebut dalam Pasal 109 ayat (6) UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Korporasi yang melakukan pelanggaran atas larangan yang disebut dalam Undang-Undang ini dapat dijatuhi hukuman pokok berupa denda. Selain pidana pokok itu, korporasi dapat dijatuhi ‘pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan’.
Kesebelas, pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha korporasi. Kegiatan usaha korporasi dapat dibekukan oleh Pemerintah. Ancaman pidana ketujuh hingga kesepuluh dapat dilihat juga pada UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang ini menyebutkan ada sanksi lain di luar denda yang dapat dikenakan terhadap korporasi, yaitu: pengumuman putusan hakim; pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi; pencabutan izin usaha; pembubaran dan/atau pelarangan korporasi; perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau pengambilalihan korporasi oleh negara.
Keduabelas, pembubaran korporasi. Berdasarkan Pasal 142 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, perseroan dapat dibubarkan dalam hal antara lain berdasarkan penetapan pengadilan, dan izin usaha perseroan dicabut sehingga mewajibkan perseroan melakukan likuidasi.
Sebagian besar jenis pidana tambahan ini sudah tersebar dalam peraturan perundang-undangan khusus.
Kini, jenis pidana itu juga dimasukkan sebagai ius constituendum dalam RUU KUHP. Meskipun RUU KUHP belum disahkan tak berarti ancaman sanksi itu tidak dapat dijatuhkan pengadilan.
Dengan menggunakan Undang-Undang khusus, pidana tambahan tersebut tetap merupakan ancaman yang setiap saat dapat dijatuhkan sesuai dengan dakwaan penuntut umum terhadap korporasi.
Pewarta : rn
Sumber : hukumonline
Admin 081357848782 (0)