Prof. Yusril Ihza Mahendra
TRIBUNUS.CO.ID - MELAWAN LUPA mengutip dari halaman FB Prof. Yusril Ihza Mahendra, 6 tahun yang lalu menuliskan suatu artikel berisikan penilaiannya tentang lembaga Survei dan kedaulatan rakyat, sesuai dengan norma-norma Pancasila ia mengatakan; Saya ingin menjelaskan tentang lembaga survei Pemilu yang akhir-akhir ini sering menghebohkan dunia politik kita.
Kita sudah tahu-sama-tahu bahwa lembaga-lembaga survei yang menjamur itu bukanlah lembaga yang murni akademis, tetapi lembaga profesional yang komersial. Tidak saya pungkiri bahwa dalam bekerja, lembaga-lembaga survei itu menggunakan metode-metode akademis. Namun aspek komersialnya tidak dapat diabaikan pula.
Partai politik atau politisi yang akan berkompetisi, sudah lazim meminta lembaga survei melakukan kegiatannya. Tujuannya bukan semata-mata untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan dirinya, tetapi juga untuk membentuk opini publik. Tidak jarang suatu lembaga survei sdh menandatangani kontrak dengan partai politik atau politisi untuk jangka waktu tertentu. Besarnya nilai kontrak tentu sesuai kemampuan partai atau politisi yang bersangkutan. Makin besar uang, makin canggih lembaga surveinya.
Halaman facebook yang menjadi sumber :
Biasanya laporan hasil riset ada 2 macam. Satu yang benar, hanya untuk kepentingan internal; dan yang tidak benar, untuk kepentingan publik. Hasil survei yang tidak benar dan disulap itulah yang dijadikan konsumsi untuk mempengaruhi opini publik.
Hasil survei yang disulap itu dipublikasikan secara luas melalui jaringan media sehingga menjadi kontroversi. Hasil survei yang disulap itu bisa dijadikan sebagai bagian dari upaya kecurangan pemilu secara sistemik. Melalui pengumuman hasil survei yang meluas itu, pelan-pelan opini publik akan terbentuk, mana partai atau tokoh yang unggul, mana yang memble.
Kalau opini sudah terbentuk, langkah selanjutnya merekayasa perolehan suara agar pas seperti hasil survei. Banyak cara dapat dilakukan untuk merekayasa perolehan suara. Langkah pertama dimulai dari penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Makin kacau dan tidak akurat DPT, rekayasa akan makin mudah. Surat suara yang berlebih, bisa dicoblos sendiri untuk memenangkan suatu parpol.
Berbagai trik untuk mengatur perolehan suara dilakukan sejak dari tingkatan TPS (lokasi), PPS (Desa/Kelurahan), PPK (Kecamatan) sampai Kabupaten/kota. Luasnya wilayah negara kita membuat pengawasan penghitungan suara menjadi sangat sulit dan rumit. Ada potensi untuk curang disini.
Tiap kali Pemilu, Teknologi Informasi (IT) Komisi Pemilihan Umum selalu ngadat, pengumpulan suara lambat dan membosankan. Keadaan ini membuat orang lelah, apatis dan akhirnya putus asa serta tidak peduli lagi. Dalam keadaan seperti itu, praktik jual beli suara, transaksi pemindahan suara dari 1 parpol ke parpol lain terjadi dengan mudahnya.
Siapa yang dapat melakukan kecurangan seperti ini? Yang dapat melakukan kecurangan sistemik seperti itu hanya mereka yang kuat secara politik, birokrasi dan finansial. Akhirnya Pemilu ditentukan oleh transaksi uang dan kekuasaan. Suara rakyat dipermainkan dan dimanipulasi. Kedaulatan rakyat hanyalah mimpi.
Akhirnya apa yang terjadi? Hasil akhir pemilu persis seperti hasil survei yang sebelumnya sudah dicekoki kepada public. Rakyat pun akhirnya dapat menerima urutan pemenang pemilu, toh sudah cocok dengan hasil survei jauh hari sebelum pemilu yang sudah ada di otak mereka. Kalau demikian, maka bukan lembaga survei itu yang canggih bisa memprediksi hasil Pemilu. Tapi sebaliknya, hasil pemilu yang direkayasa secara sistemik agar hasilnya sesuai dengan hasil survei.
Demikian tulisan saya. Semoga mencerahkan mengenai sisi lain survei dan hasil Pemilu di negeri yang makin antah berantah ini. Terima kasih.
Editor : rn
Admin 081357848782 (0)