TRIBUNUS.CO.ID - Menangapi pernyataan Tim Kampanye Nasional (TKN) Capres dan Cawapres Nomor urut 01, Beberapa media yang menulis judul berita terkait OTT Ketua Umum PPP Oleh KPK “KPK INDEPENDEN!. JANGANKAN ROMY, JOKOWI SAJA DIINCAR KPK”
Natalius Pigai, Kritikus, Aktivis Kemanusiaan Pun Angkat bicara menurutnya Penangkapan melalui Operasi Tangan Tangan (OTT) Romahurmuziy, orang paling dekat Joko Widodo Calon Presiden Nomor 01 yang juga Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan PPP mengguncang opini politik nasional. Masyarakat Indonesia mengecam tindakan Romy sebagai tindakan moralitas yang menentang komitmen pemerintah untuk membangun Indonesia yang bersih dan berwibawa. Sedangkan Joko Widodo malu dan sembunyi tangan, diam, sunyi dan bisu, tetapi TKN nya yang berkicau lantang mengatakan ini suatu bukti bahwa “tindakan OTT oleh KPK merupakan prestasi Joko Widodo memberantas Korupsi”.
Apalagi TKN nya menyatakan bahwa “Joko Widodo menegakan hukum tajam ke atas dan tumpul ke bawah”, ada yang katakana “Joko Widodo tidak mengenal lawan dan kawan dalam menegakkan hukum”. Sungguh sangat naif ketika TKN menyatakan juga bahwa “Joko Widodo intervensi KPK dalam menegakkan hukum”, lebih ekstrim lagi bahwa “Joko Widodo tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum termasuk terhadap orang dekatnya seperti yang dialami Romahurmuziy.
Bahkan Ma'ruf Amin menyatakan bahwa “Joko Widodo tidak intervensi KPK ”Berbagai komentar puja puji terhadap Joko Widodo tersebut silakan lihat berbagai pemberitaan media mainstream yang diikuti dan diviralkan oleh pendukung Joko Widodo seantero nusantara dalam 2 hari ini.
Sungguh sangat disayangkan bahwa Joko Widodo dan TKN yang merupakan kumpulan orang yang diberi amanah sebagai pemimpin negeri ini ternyata diketahui tidak memahami adanya pemisahan kekuasaan secara tegas antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga otoritas berdiri sendiri sebagaimana klasifikasi berdasar Montesquieu. Memang harus diakui bahwa Negara ini tidak serta merta menganut ajaran Montesquieu karena undang-undang kejaksaan mengamanatkan Presiden menunjuk Jaksa Agung dan Kepolisian juga meskipun harus mendapat persetujuan Lembaga Legislatif.
Pertanyaannya apakah Presiden Joko Widodo memiliki ruang otoritas untuk dapat intervensi atau minimal mengarahkan penegakkan hukum di Lembaga Anti Rasuah (KPK) tersebut?. Jawabannya tentu saja tidak karena Undang-Undang KPK tidak memberi ruang bagi Presiden untuk intervensi KPK. KPK jelas independent sehingga Joko Widodo tidak bisa menyelamatkan atau memasukan orang dalam penjara berdasarkan sistem peradilan pidana korupsi ( criminal justice system) di KPK.
Lantas dimana posisi dan otoritas Joko Widodo sebagai Presiden terkait proses pemberantasan korupsi di KPK?. Dalam konteks ini posisi Joko Widodo harus dilihat dalam 3 kedudukan di negara ini yaitu sebagai Warga Negara (individu), Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Ketiga posisi Joko Widodo tersebut diatas tidak memiliki kewenangan:
Sungguh sangat disayangkan bahwa Joko Widodo dan TKN yang merupakan kumpulan orang yang diberi amanah sebagai pemimpin negeri ini ternyata diketahui tidak memahami adanya pemisahan kekuasaan secara tegas antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga otoritas berdiri sendiri sebagaimana klasifikasi berdasar Montesquieu. Memang harus diakui bahwa Negara ini tidak serta merta menganut ajaran Montesquieu karena undang-undang kejaksaan mengamanatkan Presiden menunjuk Jaksa Agung dan Kepolisian juga meskipun harus mendapat persetujuan Lembaga Legislatif.
Pertanyaannya apakah Presiden Joko Widodo memiliki ruang otoritas untuk dapat intervensi atau minimal mengarahkan penegakkan hukum di Lembaga Anti Rasuah (KPK) tersebut?. Jawabannya tentu saja tidak karena Undang-Undang KPK tidak memberi ruang bagi Presiden untuk intervensi KPK. KPK jelas independent sehingga Joko Widodo tidak bisa menyelamatkan atau memasukan orang dalam penjara berdasarkan sistem peradilan pidana korupsi ( criminal justice system) di KPK.
Lantas dimana posisi dan otoritas Joko Widodo sebagai Presiden terkait proses pemberantasan korupsi di KPK?. Dalam konteks ini posisi Joko Widodo harus dilihat dalam 3 kedudukan di negara ini yaitu sebagai Warga Negara (individu), Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Ketiga posisi Joko Widodo tersebut diatas tidak memiliki kewenangan:
1). Joko Widodo sebagai Kepala Negara. KPK adalah Lembaga Negara diberi tugas berdasarkan UU yang dibuat oleh Lembaga legislatif. Dalam hal ini KPK adalah state auxiliary body sebagaimana Komnas HAM yang pertanggungjawaban hanya kepada Lembaga legislatif dan Mahkamah Agung (MA) sebagai supreme court, untuk Komnas HAM pertanggungjawaban juga kepada dewan HAM PBB.
2). Joko Widodo sebagai Kepala Pemerintahan. Sebagai Kepala Pemerintahan Joko Widodo hanya diberi kewenangan membentuk lembaga pemerintahan (governmental unit atau presidential unit) yaitu lembaga pemerintahan seperti Kementerian, Departemen dan Nondepartemen berdasarkan Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden.
2). Joko Widodo sebagai Kepala Pemerintahan. Sebagai Kepala Pemerintahan Joko Widodo hanya diberi kewenangan membentuk lembaga pemerintahan (governmental unit atau presidential unit) yaitu lembaga pemerintahan seperti Kementerian, Departemen dan Nondepartemen berdasarkan Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden.
Misalnya antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Badan Penanaman Modal Asing, BNP2TKI dan lain-lain yang bertugas untuk melaksana kan pembangunan nasional sesuai amanat undang-undang. Amanat undang-undang bidang pembangunan pertanian, pembangunan perumahan, pembangunan ketenagakerjaan dan lain sebagainya atau juga presidencial auxiliary officer seperti KSP, BPIP dll. Dalam hal ini Presiden bisa intervensi karena Lembaga-lembaga yang hanya melaksanakan visi, misi pemerintahan melalui perintah langsung dari Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang hanya berlaku dalam jangka waktu presiden Joko Widodo Berkuasa. Karena itu terkait KPK bukan Lembaga pemerintahan (Presidensial Unit), sehingga Joko Widodo tidak bisa intervensi!
3). Joko Widodo sebagai Warga Negara. Dalam hal status Joko Widodo sebagai warga negara memiliki posisi yang sama dengan warga negara lainnya dihadapan hukum. Hal ini menegaskan berdasarkan norma hukum yang berlaku di seluruh dunia yaitu adanya persamaan dan non diskriminasi dihadapan hukum (equality before law).
3). Joko Widodo sebagai Warga Negara. Dalam hal status Joko Widodo sebagai warga negara memiliki posisi yang sama dengan warga negara lainnya dihadapan hukum. Hal ini menegaskan berdasarkan norma hukum yang berlaku di seluruh dunia yaitu adanya persamaan dan non diskriminasi dihadapan hukum (equality before law).
Meskipun jabatan Presiden tetap saja memiliki tanggung jawab secara individual (individual responsibilities) jika melakukan pelanggaran pidana seperti tindak pidana korupsi. Dalam proses penegakan hukum di KPK, Joko Widodo tidak bisa terhindar dari jeratan hukum jika terbukti melakukan pelanggaran.
Dalam konteks Presiden Joko Widodo sebagai Warga Negara yang memiliki kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya, maka dalam konteks penegakan hukum yang melibatkan penggunaan Anggaran Negara (APBN) yang dilakukan oleh KPK tentu saja Joko Widodo adalah salah pejabat publik dan warga negara yang kapan saja bisa diintai, disadap, diawasi dan dimonitor oleh KPK.
Dalam konteks Presiden Joko Widodo sebagai Warga Negara yang memiliki kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya, maka dalam konteks penegakan hukum yang melibatkan penggunaan Anggaran Negara (APBN) yang dilakukan oleh KPK tentu saja Joko Widodo adalah salah pejabat publik dan warga negara yang kapan saja bisa diintai, disadap, diawasi dan dimonitor oleh KPK.
Dalam kurun waktu 4 tahun Joko Widodo memimpin ada beberapa kasus yang diduga membawa nama Joko Widodo secara langsung maupun juga tidak, namun pernah diproses hukum oleh KPK. Kasus yang paling mungkin untuk dicermati oleh KPK terkait dengan terbawahnya nama besar Joko Widodo adalah soal kasus Bakamla meskipun memang harus dibuktikan di pengadilan. Dalam Kasus Bakamla pembelian Drone adalah merupakan program dan inisiatif Joko Widodo yang pernah disampaikan dalam debat Calon Presiden tahun 2014.
Komitmen Joko Widodo untuk membeli drone tersebut ternyata dianggarkan oleh Bakamla dan pada saat kesaksian sepihak Fayakhun Andriadi yang konon katanya pernah bertemu seorang yang disebut adik Joko Widodo bersama Staf Ahli Bakamla Arie Sudewo dan Ali Fahmi seorang kader PDIP meskipun kebenarannya harus di pengadilan.
Namun apabila ternyata pengakuan Fayakhun tersebut benar adanya, maka jika dilihat dari circumstance of crime, dimana Joko Widodo sebagai orang yang berinisiatif membeli Drone dan ketika berkuasa ada seseorang yang diduga adik Joko Widodo tentu memiliki narasi linier dan korelatifnya bisa dikembangkan oleh KPK. Kalau setelah dikembangkan akhirnya diketahui dan terbukti di pengadilan bahwa keluarga Joko Widodo ikut cawe cawe bermain proyek pemerintah, maka tidak ada jaminan Joko Widodo lepas dari jeratan hukum.
Dengan penjelasan sebagaimana tersebut, maka Joko Widodo hanya memiliki potensi untuk mempengaruhi hukum hanya melalui Kejaksaan Agung atau Kepolisian Negara. Penjelasan tersebut di atas membenamkan ekspresi bernalar yang membahayakan oleh TKN Joko Widodo tentang otoritas Joko Widodo untuk menegakan hukum. Bagaimana bisa intervensi terhadap KPK, dimana ruang intervensi Joko Widodo menjebloskan orang di KPK dan atau bahkan mengeluarkan orang dari jeratan hukum di KPK.
Dengan penjelasan sebagaimana tersebut, maka Joko Widodo hanya memiliki potensi untuk mempengaruhi hukum hanya melalui Kejaksaan Agung atau Kepolisian Negara. Penjelasan tersebut di atas membenamkan ekspresi bernalar yang membahayakan oleh TKN Joko Widodo tentang otoritas Joko Widodo untuk menegakan hukum. Bagaimana bisa intervensi terhadap KPK, dimana ruang intervensi Joko Widodo menjebloskan orang di KPK dan atau bahkan mengeluarkan orang dari jeratan hukum di KPK.
Oleh karena itu, Penangkapan terhadap orang dekat Joko Widodo bernama Romahurmuziy adalah murni hasil kerja KPK secara independen. Bangsa ini tidak perlu mengapresiasi Joko Widodo, tetapi 1 triliun kali kita mesti apresiasi kepada KPK.
Janganlah memupuk elektabilitas dengan cara-cara yang murah dan rendahan karena 17 April 2019 Rakyat Indonesia akan memberi hukum kepada Petahana dengan memilih Prabowo Subianto menjadi Presiden RI 2019-2024.
Pewarta : rn
Sumber : Natalius Pigai, Kritikus, Aktivis Kemanusiaan.
Sumber : Natalius Pigai, Kritikus, Aktivis Kemanusiaan.
Admin 081357848782 (0)