TRIBUNUS.CO.ID - Apa perbedaan antara mutasi dan lelang jabatan Mutasi adalah pemindahan tugas dan/atau lokasi kerja Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) yang dapat dilakukan dalam 1 (satu) instansi pusat, antar-instansi pusat, 1 (satu) instansi daerah, antar-instansi daerah, antar-instansi pusat dan instansi daerah, dan ke perwakilan Negara Kesatuan Republik Indonesia di luar negeri.
Istilah lelang jabatan tidak termasuk istilah hukum, bahkan terminologi dan frasa mengenai lelang jabatan pun tidak termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”). Istilah lelang jabatan hanya dikenal dalam praktik pengisian jabatan pemerintahan atau birokrasi yang dilakukan untuk memenuhi prinsip meritokrasi atau sistem merit yang merupakan kebijakan dan manajemen ASN yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Pertama, merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”), mutasi tidak didefinisikan secara tegas pada bagian ketentuan umum.
Istilah lelang jabatan tidak termasuk istilah hukum, bahkan terminologi dan frasa mengenai lelang jabatan pun tidak termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”). Istilah lelang jabatan hanya dikenal dalam praktik pengisian jabatan pemerintahan atau birokrasi yang dilakukan untuk memenuhi prinsip meritokrasi atau sistem merit yang merupakan kebijakan dan manajemen ASN yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Pertama, merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”), mutasi tidak didefinisikan secara tegas pada bagian ketentuan umum.
Akan tetapi, jika dilihat pada apa yang dimuat dalam Pasal 73 ayat (1) UU ASN, mutasi dapat dipahami sebagai pemindahan tugas dan/atau lokasi kerja Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) yang dapat dilakukan dalam 1 (satu) instansi pusat, antar-instansi pusat, 1 (satu) instansi daerah, antar-instansi daerah, antar-instansi pusat dan instansi daerah, dan ke perwakilan Negara Kesatuan Republik Indonesia di luar negeri.
Di samping itu, berdasarkan Pasal 55 ayat (1) huruf g UU ASN, mutasi dikelompokkan menjadi bagian dari manajemen PNS yang ditujukan untuk menghasilkan pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kedua, perihal lelang jabatan. Sebetulnya istilah lelang jabatan ini tidak termasuk istilah hukum, bahkan terminologi dan frasa mengenai lelang jabatan pun tidak termuat dalam UU ASN. Istilah lelang jabatan hanya dikenal dalam praktik pengisian jabatan pemerintahan atau birokrasi yang dilakukan untuk memenuhi prinsip meritokrasi. Meritokrasi atau sistem merit menurut Pasal 1 angka 22 UU ASN merupakan kebijakan dan manajemen ASN yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.
Apa yang dipahami sebagai lelang jabatan dapat pula dipahami dari ketentuan Pasal 108 UU ASN yang mengatur tentang pengisian jabatan di pemerintahan. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya pada kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural, dan instansi daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[1]
Meskipun istilah lelang jabatan tidak dikenal dalam UU ASN, namun istilah promosi yang terbuka dan kompetitif digunakan dalam regulasi tersebut, terutama untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (1) UU ASN. Sistem promosi dilakukan berdasarkan perbandingan yang objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan, penilaian atas prestasi kerja, kepemimpinan, kerjasama, kreativitas dan pertimbangan dari tim penilai kinerja PNS pada instansi pemerintah, tanpa membedakan jender, suku, agama, ras dan golongan.
Untuk pertanyaan nomor 2, kami perlu meluruskan bahwa yang Anda maksud mungkin adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 kemudian diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (“UU Pilkada”). Hal ini karena yang mengatur secara jelas mengenai larangan bagi pejabat untuk melakukan mutasi jabatan dalam enam bulan sebelum penetapan dan enam bulan setelah penetapan calon pasangan kepala daerah adalah UU Pilkada, bukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu’). Di mana Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada, menjelaskan bahwa :
Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Pada bagian penjelasan Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada dikatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah “penggantian” adalah hanya dibatasi untuk mutasi dalam jabatan. Meskipun dalam penjelasan UU Pilkada istilah penggantian hanya dibatasi untuk mutasi dalam jabatan, namun hal itu tidak bermakna hanya untuk kondisi dipindahkan seorang pejabat dari jabatan tertentu dan diganti oleh pejabat lainnya, namun juga mencakup kondisi di mana terjadi kekosongan jabatan dan dilakukan pengisian melalui proses lelang jabatan. Prinsip dan sistem yang digunakan untuk melakukan mutasi dimaksud mengacu pada sistem lelang jabatan yang diatur dalam Pasal 72 ayat (1) dan Pasal 108 UU ASN. Jadi, istilah penggantian dalam UU Pilkada tersebut harus dimaknai dalam hubungan sistematis dengan ketentuan UU ASN.
Untuk pertanyaan nomor 2, kami perlu meluruskan bahwa yang Anda maksud mungkin adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 kemudian diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (“UU Pilkada”). Hal ini karena yang mengatur secara jelas mengenai larangan bagi pejabat untuk melakukan mutasi jabatan dalam enam bulan sebelum penetapan dan enam bulan setelah penetapan calon pasangan kepala daerah adalah UU Pilkada, bukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu’). Di mana Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada, menjelaskan bahwa :
Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Pada bagian penjelasan Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada dikatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah “penggantian” adalah hanya dibatasi untuk mutasi dalam jabatan. Meskipun dalam penjelasan UU Pilkada istilah penggantian hanya dibatasi untuk mutasi dalam jabatan, namun hal itu tidak bermakna hanya untuk kondisi dipindahkan seorang pejabat dari jabatan tertentu dan diganti oleh pejabat lainnya, namun juga mencakup kondisi di mana terjadi kekosongan jabatan dan dilakukan pengisian melalui proses lelang jabatan. Prinsip dan sistem yang digunakan untuk melakukan mutasi dimaksud mengacu pada sistem lelang jabatan yang diatur dalam Pasal 72 ayat (1) dan Pasal 108 UU ASN. Jadi, istilah penggantian dalam UU Pilkada tersebut harus dimaknai dalam hubungan sistematis dengan ketentuan UU ASN.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 kemudian diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
[1] Pasal 108 ayat (1) UU ASN
Pewarta : rn
Sumber : hukumonleni.com
Admin 081357848782 (0)