KEDIRI, TRIBUNUS.CO.ID - Dinas Kominfo Provinsi Jawa Timur bersama Pimpinan Pusat IPPNU menggelar Wokrshop Literasi Digital untuk merawat Kebhinekaan Tunggal Ika dengan bertemakan "Bijak Dalam Bermedia Sosial, Kegiatan pelatihan yang luar biasa tersebut berlangsung di Gedung Aula Kantor PCNU Kabupaten Kediri Kamis, 18/10/2018 yang diikuti ratusan peserta dari pelajar santri IPNU - IPPNU PAC se Kabupaten Kediri.
Workshop Literasi Digital untuk pelatihan bersosial media sehari penuh tersebut dihadiri oleh Direktur Pengelola Media Kementrian Kominfo RI, Kominfo Jawa Timur, Kominfo Kabupaten Kediri, Pengurus PCNU Kabupaten Kediri, Pengelola Indonesia Baik. ID, BPIP RI, Pimpinan Pusat IPPNU, Pimpinan Wilayah IPPNU Jawa Timur, Pimpinan Muslimat NU Kabupaten Kediri, Pimpinan Cabang IPNU -IPPNU Kabupaten Kediri, Pimpinan GP Ansor Kabupaten Kediri dan Pimpinan Fatayat NU Kabupaten Kediri.
Acara yang dibuka dengan diawali menyanyikan lagu Indonesia Raya, pembacaan do'a oleh Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Kediri, KH Muhammad Ma'mun, Laporan panitia dari Kominfo Jatim, Sambutan dari Ketua PP IPPNU Puti Hasni dan pembukaan secara simbolis Workshop Literasi Digital oleh Direktur Pengelolahan Media Ibu Siti Meiningsih.
Dalam Sambutannya Kasi Kemitraan Komunikasi Publik Kominfo Jatim Ibu Sofi menyampaikan "Kemunculan media sosial di era sekarang ini sangat masif dan menentukan pola komunikasi masyarakat. Sebagai bentuk media baru jumlah pemakainya cukup besar, sebagai
contoh saat ini pemakai Facebook (Fb) dan Whatsapp (WA) di dunia sudah melampaui 1 miliar pengguna aktif per
Agustus 2017.
Pengguna WA tidak kalah mencengangkan
dengan data pengguna aktif mencapai 1,1 milyar. Jumlah pesan yang dikirim menggunakan whatsapp mencapai 55
milyar pesan perhari. Dari 55 miliar itu, 5,4 miliar berupa foto dan 1 miliar berupa video. Saat ini WA juga dilengkapi dengan
fitur pengiriman file dokumen, sehingga fungsinya lebih lengkap untuk berbagai kebutuhan pengguna dan prospek
pengguna kedepan semakin bertambah"tutur Sofi.
Dulu facebook dianggap hanya efektif untuk pemasaran produk barang dan jasa namun media sosial sekarang berkembang menjadi alat pemasaran sosial dan politik yang efektif.
Ini baru gambaran luasnya terpaan dua media sosial, padahal media sosial banyak jumlahnya, misalnya Instagram,
Telegram, Twitter, dll. Masing-masing memiliki karakter dan fitur layanan yang berbeda, sehingga banyak pilihan sesuai
dengan kebutuhan dan privasi yang mereka ciptakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Terakhir, kita mendengar bagaimana layanan Telegram menjadi media sosial yang sangat menjaga privacy pengguna, saking amannya bahkan konon Telegram sangat disukai oleh pelaku terorisme dengan penyandian (enkripsi) yang bersifat client to client yang hanya diketahui oleh pengirim dan penerima pesan, sehinggapemerintah Indonesia merasa memblokir beberapa fitur layanan Telegram karena dianggap membahayakan
keamanan negara.
Berita terakhir, masalah ini sudah diselesaikan dengan kedatangan Pavel Durov pada awal Agustus 2017 ke Kemkominfo untuk menyelesaikan
permaslahan dengan pemerintah Indonesia, dan Telegram menempatkan servernya di Indonesia. Namun hasilnya pembicaraan layanan Telegram tetap bersikukuh untuk menjaga privasi keamanan pengguna dengan tidak bersedia membuka data pengguna dan menempatkan server di
wilayah hukum Indonesia.
Persoalan yang muncul sekarang adalah meningkatnya ragam komunikasi yang perlu dicermati dengan bijak dan kritis beserta aspek sosial, budaya, hukum dan keamanan. Literasi media bagi masyarakat semakin mendesak, terutama
bagi generasi muda yang sebagian besar menjadi pengguna medsos.
Secara sosial dan psikologis generasi muda menjadi pengguna dan sekaligus terpapar dampak negatif penggunaan media sosial. Merekalah obyek berita hoax dan
desepsi informasi yang dapat merusak masa depan generasi bangsa.
Sejak Pemilihan Presiden 2014 dan kemudian berlanjut ke Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017 memang
dirasakan penggunaan media sosial semakin sarat dengan perang citra dan opini politik yang cenderung emosional dan konfrontatif. Pada saat itu muncul produk meme telah menjadikan tokoh politik menjadi lelucon satire dan olok-olok
di ruang virtual. Sampai sekarang masih banyak kalangan masyarakat belum tahu akibat hukum dalam bermedsos dan
pasal-pasal yang dapat dikenakan dari mengirim (posting), komentar (comment), suka (like) dan membagikan (share)
dalam facebook misalnya. Beberapa kasus penghinaan, pelecehan, pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan dapat dikenakan pasal pidana dalam UU ITE.
Pemahaman terhadap aspek hukum berkaitan dengan teknis terutama berkaitan dengan aspek pemidanaan, yaitu perihal alat bukti. Kebanyakan orang berpendapat bahwa postingan atau komentar akan hilang seiring berjalannya waktu. Padahal posting dan komentar itu tersimpan dan dapat ditelusuri sampai pada siapa penggunanya. Sebagai contoh,
kita sering diingatkan kenangan beberapa tahun yang lampau sekalipun kita sendiri sudah lupa dalam Facebook kita. Berarti
ada rekaman aktivitas dalam media sosial dapat ditelusuri dan dapat dijadikan alat bukti apabila ada sangkaan tindak pidana.
Oleh karena itu, kehati-hatian sekaligus kecerdasan dalam menggunakan media sosial diperlukan untuk menghindari dampak negatif media sosial. Literasi media dimaksudkan untuk menumbuhkan untuk memilih dan bersikap kritis terhadap media sehingga orang dapat melakukan kontrol terhadap pengaruh media terhadap kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian, literasi media
juga termasuk bagian dari pendidikan politik masyarakat. Munculnya akibat sosial budaya yang muncul dalam bentuk
ujaran kebencian (hate-speech), persekusi dalam bentuk kata-kata kasar (sarkasme) yang tidak pantas diungkapkan di
muka umum telah meresahkan dan sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan serta berpotensi melahirkan potensi
konflik horizontal.
Konflik horizontal adalah konflik yang
mengarah pada benturan antar kelompok masyarakat.Sampai saat ini, masalah-masalah yang menjadi isi media
yang berpotensi menimbulkan konflik adalah masalah suku,etnis, ras dan agama. Penyelesaian masalah etnis dan ras ini
dianggap penting sehingga pemerintah perlu mengeluarkan UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, namun hasilnya belum memuaskan terutama dalam ranah politik.
Pilkada Jakarta 2017 misalnya, mrupakan pilkada yang menarik perhatian bukan hanya masyarakat Jakarta, tetapi juga masyarakat di tingkat nasional maupun internasional, karena sarat dengan isu yang bernuansa suku, etnis, ras dan agama.
Keberpihakan media mainstream begitu kasat mata dalam membingkai berita pro atau kontra terhadap calon
pasangan gubernur tertentu begitu nampak sehingga orang curiga terhadap isi berita media meanstream dan perang
beralih ke media sosial khususnya facebook begitu gencar.
Penggunaan media sosial facebook sangat luas melampaui wilayah Jakarta sehingga pilkada Jakarta disebut perhelatan
daerah yang bernuansa nasional.
Penggunaan media sosial semakin meningkat, termasuk media yang lain dengan akses terbatas dalam kelompok (in-group) ataupun person to
person, misalnya layanan Whatsapp baik personal maupun
group.
Isu suku, etnis, ras dan agama kembali menjadi bahasan. Semboyan Bhineka Tunggal Ika kembali menjadi
perdebatan liar di media sosial. Nasionalisme Indonesia kembali dipertanyakan. Keberagaman menjadi terusik.
Untuk dapat memahami budaya nasional, terlebih dahulu kita harus memahami terlebih dahulu unsur-unsur
pembentuk budaya nasional. Secara definisi budaya nasional
dibentuk dari puncak-puncak budaya daerah. Budaya daerah
bisa terdiri dari satu atau beberapa budaya lokal.
Budaya lokal sendiri adalah budaya penduduk setempat yang
tumbuh, berkembang, hidup dan didukung oleh masyarakat lokal atau daerah tertentu di wilayah Indonesia.
Budaya lokal tersebut hidup dan berkembang karena memiliki kearifan
local (local wisdom) yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Kearifan lokal
berisi nilai-nilai yang berhubungan dengan kehidupan manusia, antar manusia, manusia dengan tuhan, manusia
dengan alam dan lingkungan tempat di mana mereka hidup. Nilai tersebut bisa nampak dan diamati dalam kehidupan
religius, sosial, ekonomi, politik yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Puncak-puncak budaya lokal yang
memiliki nilai-nilai adiluhung itu kemudian diadobsi menjadi budaya nasional tanpa menghapus keberadaan budaya lokal.
Dalam hal ini keberadaan budaya lokal memperkuat budaya nasional dan budaya nasional membentuk identitas nasional.
Saat ini di Indonesia memiliki lebih dari 700 suku bangsa dan etnis. Disamping keberagaman suku bangsa dan etnis,
juga memiliki agama yang beragam dan apabila dikelola dengan baik akan meningkatkan kualitas budaya nasional
Indonesia.
Di Indonesia 6 agama yang diakui negara, yakni Islam, Hindu, Budha, Kristen Protestan, Katolik dan Kong HuCu. Agama selama ini dianggap sebagai salah satu sumber nilai yang berperan dalam membangun kebudayaan dan peradaban bangsa. Dari segi budaya, ekspresi beragama juga merupakan bentuk budaya yang turut memperkaya khazanah budaya bangsa.
Islam saat ini menjadi agama
mayoritas bangsa Indonesia, namun sebagai entitas sosial, budaya dan politik tidaklah tunggal, hal ini antara lain terjadi
karena penyebaran Islam yang terjadi di Indonesia berlangsung secara damai dengan mengakomodasi budaya lokal.
Polarisasi Islam di Indonesia dalam dua kutub besar ini paling tidak dapat menjadi contoh, yakni Nahdatul Ulama
(NU) sebagai organisasi Islam tradisional dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern. Dalam politik lebih banyak lagi varian idiologi partai Islam dalam politik kontemporer. Merumuskan nilai integrasi, toleransi, harmoni tentu
tidak dapat mengabaikan keberadaan budaya lokal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari budaya nasional. Namun
demikian, apabila keragaman agama tidak dikelola secara baik dapat menimbulkan potensi konflik yang kontra-produktif dengan tujuan membangun national dan character building Indonesia.
Dalam hal ini, pendidikan ilmu komunikasi dapat memberi sumbangan kepada national branding yang bernama Indonesia, yaitu Indonesia yang ramah, aman,
damai dan harmonis sehingga memberi rasa aman dan kesejahteraan bagi masyarakat pada umumnya. Kebudayaan
memiliki ruang yang luas untuk berkomunikasi antar suku,
etnis, ras dan agama sehingga menjadi perekat integrasi dengan semangat Keindonesiaa.
Perubahan sistem demokrasi di era reformasi berpengaruh besar terhadap bagaimana media beroperasi. Salah satunya ditandai dengan maraknya penggunaan media sosial dalam komunikasi politik, melengkapi media
meanstream yang telah terlebih dahulu ada, Namun meningkatnya perang politik melalui media sosial telah melahirkan berbagai bentuk penyimpangan isi media dalam bentuk hoax dan fake news yang dapat menimbulkan disintegrasi dalam masyarakat dan berpotensi menimbulkan
konflik horizontal.
Oleh karena literasi media diperlukan untuk memberikan kecakapan dalam mengonsumsi dan memproduksi
berita, terutama berita politik di media sosial. Pendekatan budaya, terutama budaya lokal yang sarat kearifan lokal (local wisdom) yang berisi nilai-nilai yang tumbuh, berkembang, berurat dan berakar dalam kehidupan masyarakat lokal
diharapkan dapat kembali merekatkan berbagai elemen masyarakat. Budaya lokal berkonstribusi memperkuat
budaya nasional, karena budaya nasional dibentuk dari puncak budaya lokal yang adiluhung. Dengan pendekatan
budaya maka komunikasi antar suku, etnis, ras dan agama dapat dijalin dalam semangat membangun saling pengertian,
tolerasi, persatuan dalam harmoni keberagaman.
Oleh karena itu menjaga kebinekaan merupakan tugas kita
bersama"Pungkasnya.(har)
Admin 081357848782 (0)