-->

Kenduri Budaya Akan Digelar Di Situs Calonarang Kediri



KEDIRI, TRIBUNUS.CO.ID - Setelah sukses menggelar even Sarasehan di Situs Calonarang Desa Sukorejo Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri Jawa Timur beberapa waktu lalu, Para pemerhati Sejarah dan Budaya yang ada di wilayah Kediri akan kembali mengadakan kegiatan yang sama dan dikemas dalam tema " Kenduri Budaya Kediri " bertempat tetap di Pendopo Situs Calonarang Dusun Butuh Desa Sukorejo Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri pada Jumat (03/08/2018).

Harapan dengan digelarnya Kenduri Budaya ini akan bisa kembali membangkitkan gairah para generasi muda untuk terus mempertahankan Budaya Daerah masing-masing khususnya dan Budaya Nusantara pada umumnya. Beberapa pihak yang hadir dalam acara tersebut selain dari Kediri Raya dan juga kota - kota yang terdekat juga pagi harinya direncanakan ada kunjungan rombongan pemerhati Sejarah Calonarang dari Pulau Dewata Bali.

Diambilnya lokasi Kediri Budaya di Situs Calonarang tidak terlepas dari upaya pelurusan sejarah tentang Calonarang sehingga diharapkan bisa berdampak positif bagi masyarakat terutama generasi muda.

Menurut keterangan Rianto selaku ketua Panitia kegiatan tersebut, bahwa dengan digelarnya kegiatan itu nantinya bisa lebih diarahkan untuk mengangkat potensi ekonomi daerah sehingga bisa memberikan manfaat pada Semua masyarakat. " Paling Tidak generasi muda punya semangat lagi untuk mempertahankan budaya daerah dan menepis masuknya budaya asing yang mulai merajalela. Selain itu agar masyarakat juga bisa melestarikan Budaya leluhur serta mengerti tentang sejarah yang sebenarnya. Bukan hanya itu, kami juga lebih mengedepankan kearifan lokal setiap daerah," tutur Rianto.

Masih menurut Rianto, perlu disampaikan rangkuman cerita Sejarah Calonarang yang diambil dari beberapa sumber menjelaskan, bahwa, Calonarang atau Ni ni Hyang Calonarang atau Walu Nateng Girah atau Mbok Rondo Calonarang atau di Bali dikenal dgn Rangda Ning Girah adalah Istri dari Mpu Kuturan ( pejabat atau pengusaha kadipaten Girah) di masa abad X/ XI era Erlangga dan mempunyai keturunan seorang perempuan di namakan Diah Ratna Mangali. Sementara Mpu Kuturan dari kutipan silsilah Panca Tirta (Maha Reshi) merupakan kakak dari Ida Batara Mpu Baradah sang penasehat spiritual Prabu Erlangga.

Dikarenakan Mpu Kuturan mendapat tugas untuk turut mengatur pemerintah di Bali oleh Sri Maharaja Udayana atau Ayahanda Prabu Erlangga, kemudian penguasa kadipaten Girah atau Pagu diserahkan kepada Walu Nateng Girah. Setelan menerima tanggung jawab dari Mpu Kuturan, kemudian Walu Nateng Girah melakukan semedi memohon kekuatan Newa Sraya kepada Sang Hyang Siwa  atau Tuhan Yang Maha Esa untuk mengatur roda pemerintahan di Girah hingga diberkati dan dikabulkan permintaanya menjadi sesosok Sakti mandraguna.

Dibawah kepemimpinan Ibu Ratu Sakti atau Walu Nateng Girah inilah kemudian kadipaten Girah wilayah Girah atau Pagu menjadi daerah Swapraja capai Gemah Ripah Loh Jinawi Toto tenteram Kerto Raharjo.

Karena ditinggal suaminya dan hanya tinggal bersama anak perempuan serta Para abdi dalemnya, kemudian masyarakat menyebutnya bahwa Walu Nateng Girah sudah menjadi Janda. Seiring berjalan waktu dan Diah Ratna Mangali menginjak usia remaja, permasalahanpun mulai terjadi. Akar permasalahan bermula dari Keinginan Prabu Erlangga untuk mengetahui bagaimana kunci seorang perempuan sukses menjadikan sebuah wilayah Gemah Ripah Loh Jinawi dan juga bagaimana seorang perempuan bisa menjadi Sakti Mandraguna bahkan dianggap Sangat membahayakan pemerintahan Prabu Erlangga pada saat itu. Karena dalam sebuah tatanan jaman kerajaan tidak diijinkan seorang perempuan mempunyai ilmu melebihi seorang laki-laki apalagi melebihi kemampuan kesaktian seorang raja.

Dari situ diduga muncul sebuah trik agar Prabu Erlangga Bisa mendapatkan rahasia kesaktian Walu Nateng Girah. Dengan pura- pura hendak menjadikan Diah Ratna Mangali sebagai selir, berharap rahasia kesaktian Walu Nateng Girah bisa diketahui melalui anaknya. Namun sial, ternyata setelah anaknya beberapa waktu sudah berada dan tinggal di kerajaan Erlangga, ternyata Walu Nateng Girah tetap tidak mau menyampaikan rahasia tersebut dengan alasan karena anaknya Diah Ratna Mangali hanya dijadikan seorang selir yang legalitasnya tidak ada.

Merasa tersinggung karena tidak bisa mendapatkan rahasia kesaktian Walu Nateng Girah, akhirnya dengan nada marah pernikahannya dengannya Ratna Mangali dibatalkan sepihak oleh Prabu Erlangga. Dan kemudian Ratna Mangali dikeluarkan dari Istana Kerajaan secara paksa tidak manusiawi tanpa memberitahuan pada sang Ibu. Dari situlah kemudian Walu Nateng Girah atau Calonarang merasa dilecehkan dan kemudian menantang adu kesaktian dengan Prabu Erlangga. Karena merasa tidak mampu menandingi, selanjutnya Prabu Erlangga memanggil penasehat Kerajaan yaitu Mpu Baradah.

Untuk meredam kemarahan Calonarang tersebut, kemudian Mpu Baradah datang ke Calonarang dan membujuk agar mengakhiri permusuhannya dengan Prabu Erlangga. Sementara untuk mengobati kekecewaan Calonarang, selanjutnya dijodohkanlah anak Mpu Baradah yang bernama Mpu Bahula dengan Diah Ratna Mangali hingga melahirkan seorang anak laki-laki dan diberi nama Mpu Tantular serta beberapa anak lainnya.

Dari pernikahan yang diduga mengandung unsur Politik inilah kemudian rahasia kesaktian Calonarang berhasil diketahui oleh Mpu Baradah melalui anaknya dan disampaikan kepada Prabu Erlangga. Begitu rahasia tersebut dipelajari oleh Mpu Baradah, akhirnya kesaktian Calonarang bisa dikalahkan. Dan untuk menghilangkan kesan terkalahkannya Prabu Erlangga karena kemenangan yang diperoleh menggunakan cara tidak baik, akhirnya dibelokkan sejarah kebaikan Ibu Ratu Sakti Calonarang menjadi seorang yang jahat karena suka menggunakan ilmu hitam untuk mencelakai orang lain dan sering menciptakan sebuah bencana sejenis pagebluk hingga membuat semua rakyat ketakutan dan cerita pembelokan sejarah tersebut berkembang hingga sekarang. Bahkan di sebuah wilayah di Indonesia hingga sekarang masih mempelajari keilmuan dari Calonarang dengan dikolaborasikan dalam sebuah tampilan kesenian.

Sementara itu seiring berjalannya waktu, Mpu Tantular menjadi seorang sastrawan yang terkenal dengan karyanya "Sutasoma"  atau kitab Sutasoma yang memuat juga asal usulnya Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrawa.


Dari Kitab Sutasoma inilah juga asal muasal rumusan lahirnya Pancasila yang digali oleh Bung Karno untuk dijadikan Dasar Negara Kita Pancasila hingga sekarang. Dari rangkuman cerita tentang Calonarang dan berkaitan dengan Dasar Negara itulah harusnya patut diberikan apresiasi tinggi pada keluarga Ni ni Hyang Calonarang sebagai sumber Kejayaan Nusantara di bidang kebudayaan dan Moral Bangsa yang perlu Kita wariskan dan teruskan kepada generasi sekarang dan mendatang. Ringkasan dari cerita diatas kiranya tidak berlebihan bila Calonarang arang dalam mempertahankan harkat dan martabat kaum perempuan mirip dengan perjuangan Ibu Kita Kartini pada masa abad XI.

Untuk upaya meluruskan sejarah tentang Calonarang, Tim Damar Panuluh Nusantara (DPN) dibawah tanggung jawab Rianto bersama Erwin dan Hariono dengan keberadaan Situs Calonarang  dari panggilan hati melakukan pelacakan sekaligus pengumpulan benda-benda peninggalan bersejarah yang masih ada kaitannya dengan peninggalan Calonarang di sekitar luar situs Calonarang dan mengumpulkan kembali ke Situs Calonarang berkoordinasi dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Kediri serta BPCB Jatim yang ada di Trowulan dan Pemdes serta warga dan pemuda Desa Sukorejo Kecamatan Gurah. Dan sebagai bentuk perhatian pada tempat leluhur, akses jalan menuju Situs Calonarang melalui Dusun Butuh Desa Sukorejo juga berhasil dibebaskan selebar 6 meter oleh Pemdes Sukorejo dan kepedulian Warga. Terkait keyakinan sebuah penelusuran Situs bersejarah tersebut, semua tergantung dari pribadi masing-masing. " Kami dari Tim Damar Panuluh Nusantara (DPN) lebih pada mengangkat kearifan lokal sebagai Wisata Religi dan Semoga dampaknya memberikan manfaat kebaikan, baik dari segi ekonomi dan budaya pada Semua Warga atau umat. Dan yang tidak kalah penting agar semua masyarakat bisa mengingat dan nguri-uri tempat Leluhur," pungkas Rianto. (har)

0 Komentar

Lebih baru Lebih lama