Shalat itu boleh dikata masih masuk akal. Gerakan-gerakannya jelas-jelas menggambarkan sikap menyembah dan memuja. Belum lagi bacaan-bacaannya. Tapi haji?
Thawaf itu ya cuma lenggang-kangkung mengelilingi sebuah kubus. Tak ada rukun lainnya. Tak ada mantera atau doa apa pun yang diharuskan. Engkau bisa thawaf sambil ngerumpi soal Jokowi tanpa menciderai keabsahannya. Wira-wiri Shafa-Marwah pergi-pulang? Apalagi! Malah tak ada syarat bersuci. Dan wukuf? Kongkow di sebuah padang gersang. Boleh sambil tidur atau pun pingsan. Sesudah itu apa? Melempari tembok dengan kerikil! Apa yang masuk akal dari semua itu?
Dulu, pada masa ketika Jumrah masih tiang yang ramping dan orang-orang harus berebut mengincarnya, ada seorang jemaah haji yang sampai frustrasi. Sedang konsentrasi mengincar, tangannya kesenggol hingga kerikilnya jatuh. Ia ulangi lagi, kesenggol lagi jatuh lagi. Ia ulangi, begitu lagi. Terus sampai entah berapa kali. Hingga di puncak kaku-hati, ia pun menjerit,
“Yaa Allaah Gustiiiii!!! Ini ngibadah cap apaaaa!!!”
Tapi tak bisa dijelaskan bukan berarti tak ada penjelasan. Engkau hanya tak tahu. Atau tak menemukan kata-kata untuknya. Nyatanya, jika kau sungguh percaya, ada sejenis rasa yang merembes dan mengendap ke dalam jiwamu saat kau melaksanakan laku haji itu. Rasa yang terus menyertaimu hingga kapan saja. Menghangati jiwamu dengan rindu. Dan mimpi abadi pengen balik lagi.
Saya sempat menduga, panggilan haji itu layaknya sebuah tantangan. Sejauh mana engkau percaya, hingga patuh disuruh apa saja. Bahkan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bagi akal netral tak lebih dari omomg-kosong belaka.
Kalau kau tanya alasan untuk percaya, alasannya adalah bukti. Sejak pertama kali kesana, nyaris dua puluh tahuan yang lalu, semua hal duniawi yang saya minta dalam doa-doa saya di Tanah Suci sudah diijabahi. Tuntas. Tanpa sisa. Mulai dari isteri cantik sampai perubahan politik. Dituruti tanpa kecuali. Sekarang kalau akan kesana lagi, saya harus memikirkan permintaan yang baru.
Maka tak ada yang mengherankan kalau seorang seperti Simbah Kyai Maimun Zubair entah sejak kapan beristiqomah berangkat haji setiap tahunnya. Keterbatasan quota ONH tak pernah menghalangi beliau. Apa pun jalan yang mungkin, beliau tak ragu menempuhnya. Visa jenis apa pun beliau mau. Tak ada visa haji, visa ziarah pun boleh. Bahkan pernah beliau harus berangkat dengan visa tenaga kerja musiman. Yakni yang khusus untuk dipekerjakan selama musim haji saja.
Demikianlah. Syahdan, di gawang imigrasi Madinah, masalah datang. Petugas imigrasi tak percaya orang setua itu datang sebagai tenaga kerja. Ya logis to. Lha wong usia beliau sudah mendekati 90 tahun.
Mbah Maimun jelas tak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dicecarkan saat interogasi. Kalau beliau terang-terangan bicara bahasa Arab dengan fasih dan lancar sekali, itu hanya berarti mementokkan kecurigaan petugas imigrasi. Maka beliau menyabarkan diri bertawakkal walau tertahan berjam-jam. Sampai kemudian seorang santri Sayyid Muhammad bin ‘Alawy Al Maliki, yang memang bertugas menjemput, menjadi terlalu cemas karena kalamaan menunggu. Lalu menerobos ke kantor imigrasi untuk mencari tahu. Dan cecaran pertanyaan petugas pun beralih kepadanya,
“Apa benar dia ini tenaga kerja?”
“Masa?”
“Saumpritt!”
“Setua ini?”
“Memangnya nggak boleh?”
“Kerja dimana coba?”
“Di rumah makan.”
“Orang setua ini mau disuruh kerja bagian apa?”
“Bagian icip-icip!”
Entah percaya betulan atau hanya karena kasihan atau karena karamah Mbah Maimun sendiri, petugas imigrasi akhirnya meloloskan beliau dengan status buruh rumah makan bagian mencicipi masakan. (KH Yahya Kholil Staquf) via: www.nu.co.id