Tips & triks hukum Non BAS KPT, Suatu Strategi Beracara di jaganews.com
jaganews.com Masih banyaknya para advokat pasca UU Nomor 18 Tahun 2003 (UUA) yang belum memiliki Berita Acara Sumpah dari Kepala Pengadilan Tinggi (BAS KPT) setempat di wilayah hukum domisili dari para advokat yang bersangkutan pada saat mengikuti Ujian Advokat dan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (UCA & PKPA) di seluruh Indonesia, menjadi suatu keprihatinan tersendiri mengingat banyak dari para advokat tersebut yang harus menafkahi istri dan anak-anak mereka dan rasa seperti dipermalukan di depan orang khususnya klien yang sudah memberikan kepercayaan melalui surat kuasa, belum lagi apabila klien meminta pengembalian uang yang sudah terlanjur dibayarkan, anda tentu bisa membayangkannya sendiri, bukan?
Padahal para advokat tersebut sudah benar dan hanya menjadi korban dari segelintir oknum yang sengaja memecah belah dan mempunyai kepentingan terselubung. Adapun seseorang sudah dapat dikategorikan dan disebut serta layak menyandang gelar advokat pada saat telah memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUA, yakni :
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Warga negara Republik Indonesia;
2. Bertempat tinggal di Indonesia;
3. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
4. Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
5. Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
6. Lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
7. Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
8. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
9. Berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
(2) Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Jadi jelas dengan telah dipenuhinya ketentuan tersebut maka seseorang yang sudah layak mendapatkan profesi advokat dan dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu.
Namun demikian UUA mengatur dalam Pasal 4 :
1. Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
2. Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lafalnya sebagai berikut :
“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :
• bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
• bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
• bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
• bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;
• bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;
• bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.
Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat.
Ketentuan Pasal 4 UUA yang mengatur sumpah inilah yang menjadi petaka sebagian advokat karena belum memiliki, padahal sepenuhnya bukan salah para advokat tersebut. Organisasi advokat juga sudah berupaya maksimal dan mengajukan permohonan agar para advokat tersebut segera dilakukan penyumpahan oleh KPT tetapi apa daya bila hingga detik ini belum terealisir akibat sengketa wadah tunggal organisasi advokat antara PERADI dan KAI khususnya, termasuk juga PERADIN, yang masing-masing mengakui sebagai organisasi wadah tunggal advokat. Memang sebagian KPT sudah berani melaksanakan, yakni KPT Aceh dan KPT Ambon, namun berujung pada adanya tindakan dari Ketua Mahkamah Agung terhadap KPT yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 4 tersebut akhirnya diajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh para advokat yang berjuang untuk nasib sendiri akibat para pimpinan / pengurus organisasi advokat terkesan lepas tanggung jawab setelah berhasil meraup uang dalam penyelenggaraan UCA & PKPA, dengan membiarkan para advokat non BAS KPT tersebut terkatung-katung, malah dianjurkan agar para advokat dimaksud dalam menangani perkara sebaiknya tidak berjalan sendiri melainkan harus dimentor oleh advokat yang sudah ada BAS KPT, yang secara tidak langsung dijadikan seolah suatu sistem layaknya dalam bisnis Multi Level Marketing (MLM), atau singkatnya para advokat seolah seperti diperalat dan dibodohi.
Upaya gugatan ke MK tersebut berhasil dengan adanya Putusan MK Nomor 101 / PUU-VII / 2009 (MK 101) yang intinya, ketentuan pasal 4 tentang sumpah sudah tidak lagi memiliki kekuatan hukum, sehingga akibat hukumnya soal BAS KPT ini sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi, sudah final, sebab Putusan MK lebih tinggi dari UUA, kenyataannya MA dan jajarannya di bawahnya Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri masih saja mempersoalkan; timbul pertanyaan : sebenarnya mereka penyandang jabatan hakim itu mengerti hukum atau tidak sih?
Dalam putusan MK 101 tersebut juga intinya memerintah MA agar melaksanakan ketentuan penyumpahan, dengan memerintahkan seluruh KPT di Indonesia untuk melaksanakan, tetapi MA tampaknya tidak bergeming untuk tunduk dan melaksanakan putusan MK 101. Kenapa dan ada apa? Mereka yang tahu hukum, justru memperkosa hukum itu sendiri.
Nah, sekarang bagaimana agar para advokat itu tetap beracara dengan tantangan seperti itu, yang justru datang dari pihak pengadilan (oknum hakim) dan oknum advokat yang terbukti ada menunjukan arogansi dengan memandang advokat non BAS KPT sebagai advokat tidak sah, bahkan terang-terangan diajukan dalam eksepsi?
Cara pertama : Advokat harus berani beradu argumentasi, dengan menggunakan putusan MK 101 tersebut sebagai dasar hukumnya, sebab UUA dan SKMA atau norma lainnya di bawahnya harus tunduk kepada putusan MK 101. Teknis lebih khusus, disarankan agar dalam surat kuasa khusus mencantumkan hal sebagai berikut :
1. Melakukan permintaan kepada Komisi Yudisial untuk meliput dan atau mengikuti suatu proses persidangan, dengan diberikan suatu surat kuasa khusus tersendiri untuk itu yang terlampir bersama surat kuasa khusus ini.
2. Melakukan pelaporan kepada Komisi Yudisial atas dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim berdasarkan Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 047 / KMA / SKB / IV / 2009 dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 02 / SKB / P. KY / IV / 2009, juga dengan diberikan suatu surat kuasa khusus tersendiri untuk itu yang terlampir bersama surat kuasa khusus ini, termasuk di dalamnya apabila terbukti pihak pengadilan, dalam hal ini para hakim in casu dan staff / pegawai pengadilan tidak melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101 / PUU – VII / 2009.
Cara kedua : Jika kurang percaya diri, silahkan ajak rekan advokat lain yang sudah memiliki BAS KPT untuk bertindak dalam satu surat kuasa secara bersama-sama dan atau sendiri-sendiri.
Semoga tulisan ini dapat berbagi wacana dan modal perjuangan bagi para advokat non BAS KPT, agar jangan pernah takut berjuang demi tegaknya hukum, meskipun justru harus menghadapi pihak penegak hukum lainnya khususnya para hakim baik di tingkat PN, PT sampai MA sampai langit runtuh sekalipun. ( oleh tim Advokat LSM JAGA NKRI )
jaganews.com Masih banyaknya para advokat pasca UU Nomor 18 Tahun 2003 (UUA) yang belum memiliki Berita Acara Sumpah dari Kepala Pengadilan Tinggi (BAS KPT) setempat di wilayah hukum domisili dari para advokat yang bersangkutan pada saat mengikuti Ujian Advokat dan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (UCA & PKPA) di seluruh Indonesia, menjadi suatu keprihatinan tersendiri mengingat banyak dari para advokat tersebut yang harus menafkahi istri dan anak-anak mereka dan rasa seperti dipermalukan di depan orang khususnya klien yang sudah memberikan kepercayaan melalui surat kuasa, belum lagi apabila klien meminta pengembalian uang yang sudah terlanjur dibayarkan, anda tentu bisa membayangkannya sendiri, bukan?
Padahal para advokat tersebut sudah benar dan hanya menjadi korban dari segelintir oknum yang sengaja memecah belah dan mempunyai kepentingan terselubung. Adapun seseorang sudah dapat dikategorikan dan disebut serta layak menyandang gelar advokat pada saat telah memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUA, yakni :
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Warga negara Republik Indonesia;
2. Bertempat tinggal di Indonesia;
3. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
4. Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
5. Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
6. Lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
7. Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
8. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
9. Berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
(2) Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Jadi jelas dengan telah dipenuhinya ketentuan tersebut maka seseorang yang sudah layak mendapatkan profesi advokat dan dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu.
Namun demikian UUA mengatur dalam Pasal 4 :
1. Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
2. Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lafalnya sebagai berikut :
“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :
• bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
• bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
• bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
• bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;
• bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;
• bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.
Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat.
Ketentuan Pasal 4 UUA yang mengatur sumpah inilah yang menjadi petaka sebagian advokat karena belum memiliki, padahal sepenuhnya bukan salah para advokat tersebut. Organisasi advokat juga sudah berupaya maksimal dan mengajukan permohonan agar para advokat tersebut segera dilakukan penyumpahan oleh KPT tetapi apa daya bila hingga detik ini belum terealisir akibat sengketa wadah tunggal organisasi advokat antara PERADI dan KAI khususnya, termasuk juga PERADIN, yang masing-masing mengakui sebagai organisasi wadah tunggal advokat. Memang sebagian KPT sudah berani melaksanakan, yakni KPT Aceh dan KPT Ambon, namun berujung pada adanya tindakan dari Ketua Mahkamah Agung terhadap KPT yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 4 tersebut akhirnya diajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh para advokat yang berjuang untuk nasib sendiri akibat para pimpinan / pengurus organisasi advokat terkesan lepas tanggung jawab setelah berhasil meraup uang dalam penyelenggaraan UCA & PKPA, dengan membiarkan para advokat non BAS KPT tersebut terkatung-katung, malah dianjurkan agar para advokat dimaksud dalam menangani perkara sebaiknya tidak berjalan sendiri melainkan harus dimentor oleh advokat yang sudah ada BAS KPT, yang secara tidak langsung dijadikan seolah suatu sistem layaknya dalam bisnis Multi Level Marketing (MLM), atau singkatnya para advokat seolah seperti diperalat dan dibodohi.
Upaya gugatan ke MK tersebut berhasil dengan adanya Putusan MK Nomor 101 / PUU-VII / 2009 (MK 101) yang intinya, ketentuan pasal 4 tentang sumpah sudah tidak lagi memiliki kekuatan hukum, sehingga akibat hukumnya soal BAS KPT ini sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi, sudah final, sebab Putusan MK lebih tinggi dari UUA, kenyataannya MA dan jajarannya di bawahnya Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri masih saja mempersoalkan; timbul pertanyaan : sebenarnya mereka penyandang jabatan hakim itu mengerti hukum atau tidak sih?
Dalam putusan MK 101 tersebut juga intinya memerintah MA agar melaksanakan ketentuan penyumpahan, dengan memerintahkan seluruh KPT di Indonesia untuk melaksanakan, tetapi MA tampaknya tidak bergeming untuk tunduk dan melaksanakan putusan MK 101. Kenapa dan ada apa? Mereka yang tahu hukum, justru memperkosa hukum itu sendiri.
Nah, sekarang bagaimana agar para advokat itu tetap beracara dengan tantangan seperti itu, yang justru datang dari pihak pengadilan (oknum hakim) dan oknum advokat yang terbukti ada menunjukan arogansi dengan memandang advokat non BAS KPT sebagai advokat tidak sah, bahkan terang-terangan diajukan dalam eksepsi?
Cara pertama : Advokat harus berani beradu argumentasi, dengan menggunakan putusan MK 101 tersebut sebagai dasar hukumnya, sebab UUA dan SKMA atau norma lainnya di bawahnya harus tunduk kepada putusan MK 101. Teknis lebih khusus, disarankan agar dalam surat kuasa khusus mencantumkan hal sebagai berikut :
1. Melakukan permintaan kepada Komisi Yudisial untuk meliput dan atau mengikuti suatu proses persidangan, dengan diberikan suatu surat kuasa khusus tersendiri untuk itu yang terlampir bersama surat kuasa khusus ini.
2. Melakukan pelaporan kepada Komisi Yudisial atas dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim berdasarkan Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 047 / KMA / SKB / IV / 2009 dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 02 / SKB / P. KY / IV / 2009, juga dengan diberikan suatu surat kuasa khusus tersendiri untuk itu yang terlampir bersama surat kuasa khusus ini, termasuk di dalamnya apabila terbukti pihak pengadilan, dalam hal ini para hakim in casu dan staff / pegawai pengadilan tidak melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101 / PUU – VII / 2009.
Cara kedua : Jika kurang percaya diri, silahkan ajak rekan advokat lain yang sudah memiliki BAS KPT untuk bertindak dalam satu surat kuasa secara bersama-sama dan atau sendiri-sendiri.
Semoga tulisan ini dapat berbagi wacana dan modal perjuangan bagi para advokat non BAS KPT, agar jangan pernah takut berjuang demi tegaknya hukum, meskipun justru harus menghadapi pihak penegak hukum lainnya khususnya para hakim baik di tingkat PN, PT sampai MA sampai langit runtuh sekalipun. ( oleh tim Advokat LSM JAGA NKRI )
Admin 081357848782 (0)