TRIBUNUS.CO.ID - Gigih Guntoro Direktur Eksekutif Indonesian Club pada 20 Desember 2018 menjelaskan sebagai catatan Indonesian Club di tahun 2018 ini, Sebagai terminal terakhir dari sistem peradilan pidana, Lembaga Pemasyarakatan telah menghadapi berbagai persoalan krusial. Kompleksitas persoalan tersebut merupakan manifestasi sistem penegakan hukum dan buruknya tatakelola yang sudah berlangsung lama. Wajah keseharian Lapas terus dihiasi dengan berbagai persoalan overcapasitas, kekerasan dan kerusuhan, pelarian dan kematian napi, kekerasan antar napi, perdagangan narkoba, dll yang tak pernah kunjung selesai. Ketiadaan penyelesaian problem menahun secara tuntas mengesankan ada unsur kesegajaan dan ketidakberdayaan karena menjadi bagian dari problem tersebut.
Terbongkarnya jual beli fasilitas mewah di LP sukamiskin melalui OTT oleh KPK dengan menyeret Kalapas Wahid Husein, maraknya praktek jual beli remisi/pembebasan bersyarat di beberapa lapas, terdapat 50 persen Lapas yang terpapar sindikat jaringan narkoba internasional merupakan serangkaian kejahatan yang memperburuk citra Lapas. Fakta tersebut telah mengkonfirmasi bahwa Lapas saat ini telah berubah fungsi menjadi persemaian kejahatan. Tak sedikit terjadinya praktek kejahatan ini karena ada keterlibatan oknum petugas dari level rendahan hingga level tertinggi di lembaga pemasyarakatan. Berlarut-larutnya praktek kejahatan terkesan sengaja dipelihara dan dipertahankan hanya untuk memenuhi kepentingan pragmatis para pejabatnya. Hal ini jamaks dilakukan dan taken for granted di hampir semua Lapas di Indonesia.
Pemerintahan melalui program “Revolusi Mental” yang kemudian diterjemahkan lagi di lingkungan Kementrian Hukum dan Ham menjadi “Kami Pasti” saat ini belum mampu menjawab kompleksitas persoalan Lapas. Berdasarkan hasil riset investigasi yang kami lakukan dalam kurun waktu 1 tahun terakhir memperlihatkan bahwa oknum petugas lapas memiliki kontribusi besar terjadinya praktek kejahatan. Ada 84,5 persen kejahatan diproduksi karena ada kerjasama antara Napi dan Oknum petugas Lapas, Sementara 15,5 persen kejahatan dilakukan mandiri oleh para Napi.
Data ini memperlihatkan tentang rendahnya integritas yang merusak moral hazard petugas dari level rendahan hingga level tinggi di lembaga pemasyarakatan. Sementara ketiadaan penegakan hukum dengan pemberian saksi yang tegas dan miskin nya keteladanan elitnya telah mendorong insitusi Lapas menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Maka capaian program “ Revolusi Mental” dan “Kami Pasti” akan mengalami kegagalan karena telah di aborsi sendiri oleh birokrat yang bermental korup. Dapat dipastikan juga program “Revolusi Mental” di Direktorat Pemasyarakatan akan menjadi salah satu faktor yang merusak kepercayaan rakyat kepada Pemerintahan Jokowi.
Penegakan Hukum Setengah Hati
Upaya Kementrian Hukum dan Ham cq Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk mengurai dan membersihkan Lapas dari praktek Kejahatan patut kita apresiasi. Melalui program revitalisasi Lapas secara ideal diharapkan mampu menjawab problem klasik tersebut. Namun dalam prakteknya belum secara signifikan menghentikan praktek kejahatan yang lama bahkan cenderung memunculkan modus kejahatan baru.
Meskipun ada institusi yang melakukan pengawasan internal yang sering dianggap sebagai pemadam kebakaran, ada insitusi pengawasan lintas sektoral (KPK, Ombusman, BNN, Dll) dan Forum Kolaborasi penegakan hukum antara Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Polri tak menyurutkan praktek kejahatan yang melibatkan oknum petugas berkurang. Ada ketidaksesuaian antara das sein dengan das sollen dalam penegakan hukum sehingga kejahatan terus tumbuh subur. Kejahatan di Lapas sudah menjadi common sense membentuk kultur yang kuat. Kultur kejahatan di dalam Lapas turun temurun dari generasi satu ke generasi yang baru dan telah membentuk semacam dinasti.
Kami juga patut memberi apresiasi atas kerja cepat jajaran direktorat PAS yang merespon temuan-temuan kami dilapangan atas praktek jual beli fasilitas dan remisi beberapa waktu lalu. Namun respon cepat tersebut tidak di imbangi dengan proses penegakan hukum secara tuntas dan transparan. Meskipun berhasil memotong mata rantai kejahatan dengan memberikan sanksi “pembinaan” terhadap aktor lapangan, tapi tidak berhasil menghentikan praktek kejahatan itu sendiri karena aktor intelektualnya belum tersentuh hukum. Ketidaktransparansi proses hukum ini memperkuat ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum di Internal Lapas.
Bahkan dalam kurun waktu 3 bulan terakhir ini, berdasarkan hasil investigasi dan laporan masyarakat kami masih menemukan praktek kotor yang melibatkan oknum petugas Lapas, antara lain :
1. Praktek jual beli fasilitas (bilik asmara) masih terjadi di Lapas kelas I Surabaya - Porong dan Rutan Kelas I Medan dengan tarif sewa sekali bisa mencapai jutaan rupiah.
2. Pemindahan massal warga binaan sejumlah 647 orang lebih di Rutan Medaeng selama 3 bulan terakhir (September - Oktober). Pemindahan massal WBP ini patut dicurigai dan terkesan ada rekayasa yang bersifat transaksional.
3. Peredaran dan perdagangan narkoba masih terjadi. Institusi BNN dan Bareskrim Polri juga menegaskan atas praktek tersebut masih marak terjadi didalam Lapas. (Lapas kelas I Cipinang, Rutan kelas I Cipinang, Rutan Salemba, Lapas kelas I Medang, Lapas kelas I Surabaya- Porong, Lapas Banyuwangi, Lapas Mataram).
4. Praktek jual beli fasilitas dengan memudahkan pemberian ijin WBP keluar Lapas tanpa prosedur yang ketat. (Lapas Narkotika Samarinda, Rutan Samarinda)
5. Patut diduga masih terjadi praktek jual beli remisi/asimilasi/PB secara terselubung meskipun telah menggunakan sistem Online.
Berulang dan terus berlangsungnya kejahatan yang sama di hampir semua Lapas selama ini, mencerminkan dari lemahnya penegakan hukum. Penegakan hukum yang dilakukan di internal Kementrian Hukum dan Ham masih dilakukan setengah hati tak menyentuh substansi kejahatan dan aktor-aktornya. Penegakan hukum dijalankan hanya sebagai prosedur normatif, tanpa memberikan sanksi yang tegas dan terukur terhadap pelakunya. Akibatnya pelaku makin leluasa dalam memproduksi kejahatannya meskipun ditempat baru.
Jika kita mencermati upaya penegakan hukum di internal Kementrian Hukum dan Ham selama ini tidak dijalankan secara tuntas dan transparan mengesankan ada rekayasa “Main Mata” agar tidak menyentuh aktor intelektualnya. Misal terkait OTT jual beli fasilitas di Lapas Sukamiskin, penegakan hukum dijalankan sangat normatif. Pemberian sanksi terhadap Wahid Husein, Kadiv dan Kakanwil Jabar sudah terukur dan tegas sebagai aktor yang memiliki tanggungjawab terjadinya praktek kotor tersebut. Namun sanksi “pembinaan” ini tidak secara konsisten dan terukur dijalankan dimana Kadiv dan Kakanwil Jabar tersebut justru mendapat jabatan baru. Model pembinaan semacam ini juga pernah terjadi pada kalapas Sialang Bungkuk Pekanbaru yang mendapat sanksi pencopotan, selang kemudian justru menjabat sebagai Kakanwil Kalimantan Selatan. Pendekatan pembinaan semacam ini jelas akan mencederai asas keadilan dan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dimasa mendatang.
Revitalisasi Lapas sebagai Exit Strategy?
Memang tidak mudah melakukan pembersihan praktek kejahatan yang sudah menahun, begitupun dengan melakukan pembinaan terhadap Napi ataupun rendahnya integritas petugas Lapas. Berdasarkan telaah yang kami lakukan selama ini, harus ada langkah-langkah exstra ordinary, kepemimpinan yang kuat dan tegas untuk menghentikan segala macam praktek kejahatan di Lapas. Tentu untuk membersihkan praktek kejahatan harus dimulai dari birokrasi yang bersih pula agar revitalisasi Lapas bisa berjalan secara optimal.
Langkah yang dijalankan adalah pertama, harus ada politic will secara konsisten dari pemangku kebijakan. Problem klasik Lapas harus diselesaikan secara komperehensif secara multisektor yang tidak menggunakan pendekatan proyekisme ataupun fisik (pembangunan Lapas baru). Salah satu nya adalah sinergisitas antar lembaga penegak hukum “Mahkumjakpol” jika dijalankan secara serius dan konsisten dapat mengurai problem “overcrowded” Lapas. Pendekatan filosofis dan sosiologis dalam menempatkan Lapas pada fungsi utamanya dan sebagai entry point perubahan baik Napi maupun petugas Lapas
Kedua, harus ada penegakan hukum yang memiliki efek jera. Proses hukum harus dijalankan secara tuntas dan transparan memenuhi asas keadilan. Implikasinya adalah terhadap pemberian sanksi dan reward terhadap Napi ataupun Petugas Lapas yang dijalankan secara konsisten dan terukur. Ketiga pengawasan ketat multisektoral (lintas institusi) yang dijalankan secara konsisten dan berkala. Pengawasan ketat ini juga dapat dilakukan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat sebagai bentuk kontrol terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Keempat, kepemimpinan yang kuat dan bersih. Kepemimpinan yang memberikan keteladanan kata dan perbuatan secara konsisten untuk mendorong penguatan integritas dan moral petugas.
Kedua, harus ada penegakan hukum yang memiliki efek jera. Proses hukum harus dijalankan secara tuntas dan transparan memenuhi asas keadilan. Implikasinya adalah terhadap pemberian sanksi dan reward terhadap Napi ataupun Petugas Lapas yang dijalankan secara konsisten dan terukur. Ketiga pengawasan ketat multisektoral (lintas institusi) yang dijalankan secara konsisten dan berkala. Pengawasan ketat ini juga dapat dilakukan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat sebagai bentuk kontrol terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Keempat, kepemimpinan yang kuat dan bersih. Kepemimpinan yang memberikan keteladanan kata dan perbuatan secara konsisten untuk mendorong penguatan integritas dan moral petugas.
Lapas merupakan terminal terakhir dan sebagai penegak hukum yang paling menderita dari sistem peradilan pidana. Tapi perubahan sistem peradilan sangat mungkin dilakukan dimulai dari Lapas jika ada keteladanan, politic will dan konsistensi. Maka Program Revitalisasi Lapas yang menjadi prioritas untuk melakukan pembenahan secara total Lapas akan berjalan optimal jika dijalankan diatas empat pondasi tersebut sehingga capaian tahun 2019 akan menjadi zero crime.
Pewarta : rn
Catatan Akhir Tahun
Indonesian Club 20 Desember 2018
Indonesian Club 20 Desember 2018
Admin 081357848782 (0)